RSS
Welcome to my blog, hope you enjoy reading :)

Laman

Rabu, 12 Mei 2010

tentang simbol

Simbol menurut kamus besar bahasa indonesia diartikan sebagai lambang. Sedang lambang itu sendiri, kembali menutr kamus besar bahasa indonesia' diartikan sebagai sebuah tanda yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu. Simbol selalu mengantarkan sesorang menghubungkan antara suatu tanda dengan suatu makna. Untuk sebuah simbol yang sama dapat berarti berbeda bagi seseorang atau sekelompok orang. Semua itu tergantung pada pemahaman yang telah ada pada diri seseorang, boleh jadi karena pengalaman pribadi, kebiasaan atau mungkin telah membudaya pada masyarakat dimana seseorang berada.

Sebuah peristiwa beberapa bulan yang lalu dapat dijadikan refleksi mengenai simbol dan makna simbol kenegaraan kita. Persisnya mengenai keluhan dari pemerintah atas pengerusakan traffic light (lampu merah) di pintu satu Universitas Hasanuddin (Unhas) yang dilakukan oleh mahasiswa Unhas pada saat berdemonstrasi pada tanggal Desember 2010. Pemerintah mengelu atas kerusakan itu karena biaya yang ditanggung untuk perbaikan sangatlah besar. Pemerintah kemudian mengelukan kurangnnya rasa memiliki masyarakat atas fasilitas umum. Asumsi yang selalu dibangun oleh pemerintah adalah fasilitas umum adalah milik umum dalam artian milik bersama masyarakat.

Asumsi inilah yang kemudian coba dilihat menurut analisis simbol dan makna simbol. Kejadian sebagaimana digambarkan diatas bukan hanya sekali dua kali terjadi melainkan kejadian yang telah berulang-ulang kali terjadi. Bahkan hampir setiap kali ada demonstrasi yang berujung ricuh, selalu ada fasilitas umum yang dirusak. Ini menjadi pertanyaan yang menarik perhatian kita, mengapa hal ini bisa terjadi padahal pemerintah tak henti-hentinya mensosialisasikan bahwa fasilitas umum adalah fasilitas yang dimiliki dan digunakan bersama oleh masyarakat umum. Hal tersebut dapat dilihat pada stiker-stiker atau papan-papan yang biasanya ditempelkan pada fasilitas umum yang mengingatkan kita untuk menjaga dan merawat fasilitas umum.

Kembali pada pernyataan awal bahwa setiap tanda akan menghubungkan pemahaman seseorang yang melihat tanda pada suatu makna tertentu, baik itu benda, orang keadaan ataupun hal-hal yang lain. Dalam kasus diatas, fasilitas umum menurut versi pemerintah adalah sebuah benda yang sekaligus menjadi simbol kepemilikan bersama masyarakat umum. Namun perlu dipertanyakan kembali apakah simbol tersebut juga dimaknai demikian oleh masyarakat umum. Jika demikian adanya, mengapa justru yang ditunjukkan adalah sebaliknya? menjadi hal yang kontradiktif ketika seseorang yang seharusnya menjaga kepemilikannya justru menjadi perusak dengan sengaja atas sesuatu yang dimilikinya. Untuk itu, menjadi suatu hal yang penting jika pemerintah mencoba mencari makna yang selain pemaknaannya sekarang tentang fasilitas umum. Pemerintah perlu keluar dari arogansi penafsiran tunggalnya selama ini atas sebuah simbol untuk lebih realistis melihat masyarakatnya.

Makna simbol terbentuk dari pengalaman pribadi seseorang atau budaya yang berkembang di masyarakat. Pengalaman pribadi bisa dikatakan belum cukup kuat untuk digeneralisasi menjadi alasan pengerusakan fasilitas umum yang dilakukan oleh sebegitu banyak demonstran. Oleh karena setiap orang menjalani hidupnya dengan caranya masing-masing dan sudah barang tentu memiliki pengalaman yang masing-masing berbeda pula. Untuk alasan kedua yang menjadi sumber pembentuk makna simbol adalah budaya yang berkembang di masyarakat.

Jika kita menarik akar dari budaya maka akan diperoleh beberapa unsur pembentuk budaya. Salah satu diantaranya adalah nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Nilai menentukan cara seseorang bertindak atas apa yang dinilainya. Seseorang jika menilai orang lain salah maka reaksi yang ditunjukkan pada umumnya adalah bergerak menjauh. Pada kasus pengerusakan fasilitas umum, benda-benda yang dianggap fasilitas umum ini dianggap menjadi perwakilan dari pemerintah oleh karena pemerintah mengembangkan budaya penghormatan dan rasa takut berlebih kepada masyarakat. budaya tersebut dikembangkan kurang lebih 30 tahun yaitu pada masa orde baru dimana pemerintah terlalu dominan dalam segala urusan pemerintahan seperti pembangunan, pengaturan dan pelayanan. Akhirnya terbentuk masyarakat yang patuh atas dasar ketakutan pada pemerintah dan bukan karena kesadaran pribadi.

Ada simbol pemerintah yang terlihat pada setiap fasilitas umum dengan asumsi karena yang membangun fasilitas tersebut adalah pemerintah. Terlebih untuk fasilitas umum yang sifatnya mengatur seperti rambu-rambu lalu-lintas. Demonstran yang tidak mendapatkan akses menyampaikan aspirasinya sebagaimana yang diharapkannya kemudian mencari simbol pemerintah yang lain sebagai pelampiasan atas ketidakpuasaannya. Hal tersebut membuat pengerusakan menjadi hal yang bisa dimengerti. Khusus untuk rambu-rambu lalu-lintas yang menjadi sasaran amuk massa pada demonstrasi Desember 2010, reaksi tersebut dimengerti oleh karena adanya simbol negara yang berkonotasi simbol pemerintah khususnya kepolisian yang pada saat itu mulai turun pamornya. Keadaan tersebut diperkeruh oleh reaksi kepolisian yang kerap dianggap pengganggu pada saat mahasiswa melakukan demonstrasi.

Sepatutnya menjadi refleksi bagi pemerintah untuk mulai menghilangkan arogansinya mulai dari tatanan aktivitas sampai pada tatanan simboliknya. Saatnya membenahi budaya yang telah ditanamkan pemerintah-pemerintah sebelumnya dengan menumbuhkan budaya partisiasi kepada masyarakat. Saatnya pemerintah mendekatkan diri kepada masyarakat dengan membuka ruang-ruang penyampaian aspirasi yang lebih layak. Semua ini untuk menciptakan tatanan yang seimbang dalam kehidupan bernegara kita. Masyarakat memperbesar partisipasinya dan pemerintah mengurangi dominasinya. Masyarakat menjalankan kewajibanya dan pemerintah mendapatkan hak yang semestinya dari masyarakat dan sebaliknya, pemerintah menjalankan kewajibanya dan masyarakat mendapatkan haknya.

0 komentar:

Posting Komentar